BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Rabu, 02 Mei 2012

Kasus Korupsi Angelina Sondakh


Sejak Angie ditetapkan sebagai tersangka pada 3 Februari 2012, hingga sekarang tidak ada perkembangan.
            “Hal ini memang sangat mengherankan. Sudah hampir 3 bulan sejak Angelina Sondakh ditetapkan sebagai tersangka, namun sampai saat ini nampak jalan ditempat dan terkesan tidak ada proses sama sekali.” Kata anggota Komisi III DPR, Indra.
            Sebelumnya, Indra mengaku bahwa Ketua KPK Abraham Samad sempat menyampaikan bahwa belum ditahannya Angie hanya masalah strategi dan pemberkasan. “Namun kalau sampai hampir 3 bulan seperti ini jadi sangat janggal. KPK harus segera memproses dan membuat progress yang jelas dalam menangani kasus ini.” Desak anggota Fraksi PKS ini.
            Harusnya penegak hukum segera melakukan langkah-langkah konkret dalam menangani kasus ini. Persoalan ini juga menimbulkan banyak pertanyaan bagi kita, Angelina Sondakh saat ini sudah ditetapkan menjadi tersangka, berarti logikanya penyidik KPK telah mengantongi bukti yang cukup untuk memproses perkara ini.
            Tenggelamnya kasus ini diduga karna situasi politik saat ini yang tidak kondusif. Karena beberapa isu yang seharusnya tidak diperdebatkan menjadi isu yang hangat, sehingga pokok penyelidikan kasus itu seakan tak terpantau.

Sumber :

Motif Politik Kasus Siti Fadilah


Kepolisian Negara RI membantah pernyataan pengacara Siti Fadilah Supari, Yusril Ihza Mahendra, yang menyatakan bahwa kasus yang menimpa Siti bermotif politik. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution menjamin tak ada intervensi politik dari pihak manapun dalam hal itu.
            Yang pasti kita professional. Silahkan semua berkomentar, kita akan terus bekerja sesuai dengan fakta dan bukti di lapangan,” ujar Saud. Polri terus memantau berbagai keterangan di sidang tindak pidana korupsi yang tengah berlangsung. Ia menegaskan, status Siti sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden tak akan menghalangi penegakan hukum jika ia bersalah.
            Dalam kasus ini, Siti dianggap menyalahi prosedur sehingga menimbulkan kerugian Negara. Kebijakannya saat menjabat Menteri Kesehatan pada 2005 membuat orang lain melakukan tindakan korupsi. Akibatnya, Negara dirugikan senilai Rp 6,4 miliyar dalam kasus proyek pengadaan alat kesehatan untuk kejadian luar biasa.
            “Nah, itu kan memang resiko menteri dan pengertian korupsi dalam UU, siapapun yang membuat orang lain untuk merugikan Negara, maka dia juga korupsi. Kesalahan tersangka ada di kebijakan. Ada kesalahan prosedur.” Kata Saud.
            Hingga kini Polri masih belum berencana memanggil Siti untuk pemeriksaan kasus tersebut. Penyidik polri masih mengumpulkan bukti dan data untuk mengembangkan kasus tersebut.

Sumber:

BOLA LIAR KASUS CENTURY


Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mulai menunjukan diri sebagai oposisi. Bersama-sama dengan Hanura dan Gerindra mereka telah menggagas hak angket untuk kasus Bank Century. Rencana penggunaan hak angket Bank Century ini tentu mendapat tantangan dari fraksi-fraksi pendukung pemerintah, terutama Demokrat. Sementara itu, Fraksi Golkar masih menunggu hasil audit dari BPK.
            Berdasarkan Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3), Hak Angket sebagaimana dimaksud Ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
            Sebagaimana dilansir dalam beberapa media massa, kasus Bank Century muncul akibat dikeluarkan kebijakan tentang pengecuran dana bail out sebesar 6,7 triliun oleh Boediono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur BI. Dan bertanggung jawab terhadap turunnya dana itu adalah Menteri KeuanganSri Mulyani. Karena itu dapat kita lihat memang kemunculan kasus Bank Century berawal dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat. Dengan demikian, rencana penggunaan hak angket untuk mengusut kasus Bank Century sangat tepat. Namun, kita harus ingat kasus Bank Century bukan persoalan sederhana. Kasus Bank Century sekarang sudah menjadi bola liar. Banyak pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung.
            Kita memang harus mengingatkan masalah ini, karena penggunaan hak angket DPR biasanya hanya sekedar hanya sekedar alat bagi lawan-lawan politik pemerintah untuk menghancurkan pemerintah. Secara implikasi politik penggunaan hak angket DPR bisa bermuara pada pemberhentian wapres jika dalam penyelidikan DPR, wapres terbukti melakukan tindak pidana korupsi akibat dikeluarkannya kebijakan Bank Century yang ternyata membawa masalah (vide Pasal 7A UUD 1945). Di samping itu ada kemungkinan fraksi-fraksi oposisi mengusung rencana penggunaan hak angket hanya untuk mencari popularitas. Langkah Politik jika suatu kasus itu merupakan kasus besar, seperti masalah Bank Century, maka tidak cukup hanya melakukan pengusutan secara hukum, tetapi langkah politik seperti penggunaan hak angket DPR juga sangat diperlukan. Namun, karna kasus Bank Century sudah kemana-mana, maka tidak cukup jika penggunaan hak angket DPR hanya untuk “menembak” Boediono. Hak angket digunakan untuk menyelidiki kebijakan pemerintah. Kita tidak bisa mereduksi arti pemerintah hanya presiden/wapres bersama mentri-mentrinya. Pemerintah adalah kekuasaan yang menjalankan fungsi pemerintahan di luar DPR dan kekuasaan kehakiman. Hal ini diperkuat dalam Penjelasan UU MD3 Pasal 77 ayat (3) yang menyatakan pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemrintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden, wapres, mentri Negara, panglima TNI, jaksa agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementrian.
            Pesoalan besar yang sedang dibicarakan saat ini yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang dituduh menerima suap. Lalu apakah pengusutan terhadap pejabat-pejabat yang diduga terlibat dalam kasus Bank Century akan menguap begitu saja? Di sinilah perlunya langkah politik. Penggunaan hak angket terhadap kasus Bank Century ini juga dapat diarahkan pada penyelidikan terhadap aparat penegak hukum yang diduga terlibat kasus ini. Memang berbeda dari pengusutan secara hukum, pengusutan secara politik tidak akan membawa dampak berupa sanksi terhadap para pejabat yang dianggap terlibat dalam kasus Bank Century, tetapi yang jelas masyarakat akan lebih tahu apakah pejabat itu benar-benar terlibat atau tidak. Pengusutan secara politik adalah untuk menegakkan asas keterbukaan dan asas keadilan.

Sumber :
·        Hananto Widodo, dosen Ilmu Hukum Universitas Negeri Surabaya (Unesa), peneliti Centre for Legislative Strengthening (CLS)
Ket: Suara Merdeka, 3 Nopember 2009

Selasa, 24 April 2012

Problematika Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945


Salah satu tuntutan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah dibangunnya suatu sistem ketatanegaraan Indonesia yang berbasisi secara murni dan konsekuen pada paham “kedaulatan rakyat” dan “Negara hokum”. Karna itu dalam konteks penguatan sistem hukumyang diharapkan mampu membawa rakyat Indonesia mencapi tujuan bernegara yang di cita-citakan, maka perubahan atau amandemen UUD 1945 merupakan langkah strategis yang harus dilakukan dengan seksama oleh bangsa Indonesia.
            Pasca perubahab UUD 1945, memang masih menimbulkan pro dan kontra tentang pengaturan kelembagaan Negara berikut kewenangannya. Sebab sekalipun dari segi substansinya materi muatan UUD 1945 dinilai sudah mencerminkan paham “Kedaulatan rakyat” tetapi dari segi sistem pemerintahan dan operasionalisasinya justru menimbulakan berbagai persoalan baru, baik menyangkut hubungan Presiden dengan DPR maupun dengan lembaga-lembaga Negara lainnya. Padahal seharusnya konstitusi mampu menciptakan suatu sistem yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan tata hubungan kelembagaan Negara itu dan upaya bangsa Indonesia mencapai tujuan nasionalnya. Namun yang terjadi, justru aroma konflik antar lembaga Negara, penyusunan kabinet dan hubungan pusat denagn daerah yang sampai kini tetap menjadi isu-isu politik yang strategis, bersifat laten dan tidak mudah menyelesaikan secara tuntas.
            Dari perspektif sejarah, sebenernya eksistensi UUD 1945 memang dimaksudkan untuk bersifat sementara, hal ini telah ditegaskan secara implicit di dalam aturan tambahan UUD 1945, yang menyatakan : “(1) Dalm enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Rya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam UUD ini; (2) Dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD.
            Sebenarnya proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945 akan lebih baik apabila melalui berbagai tahapan yaitu:
a.       Perubahan apapun yang akan dilakukan terhadap pasal-pasal UUD 1945 haruslah disertai dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat matang.
b.      Proses penyiapan dan pembahasannya harus dilakukan dalam waktu yang cukup panjang, mendalam, cermat dan teliti.
c.       Sebagai landasan dasar bagi pengelolaan kehidupanbangsa dan Negara Indonesia yang sangat heterogen, maka perubahan UUD 1945 rumusan-rumusannya harus menghindarkan masuknya kepentingan sempit golongan ataupun perorangan yang dapat menimbulkan konflik antar kepentingan dan antar kelompok masyarakat, sebaliknya harus dapat menjamin tetap kokohnya persatuan dan kesatuan dalam kemajemukan.
d.      Perubahan UUD 1945 seharusnya dilakukan oleh suatu komisi yang independen dengan melibatkan Perguruan Tinggi, tokoh keagamaan, kaum professional Oonop dsb yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang akan diputuskan.
e.       Hasil rancangan komisi tersebut diserahkan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk dibahas dalam Badan Pekerja MPR (BPMPR), Sidang Komisi MPR dan Sidang Paripurna MPR untuk diambil putusan.
Selanjutnya, apabila kita telaah substansi UUD 1945 sebelum perubahan baik dalam Batang Tubuh maupun dalam penjelasannya, tidak diketemukan istilah lembaga Negara secara eksplisit. Namun hal ini tidak menimbulkan permasalahan baik secara konseptual maupun dalam praktek ketatanegaraan, karena pada masa itu melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 telah ditetapkan tentang kelembagaan Negara dengan mengelompokkan menjadi dua yaitu MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara meliputi Presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA. Dalam ketetapan MPR tersebut ditetapkan pula bagaiman hubungan diantara Lembaga Tinggi Negara juga dengan Lembaga Tertinggi Negara.
Situasi dan kondisi setelah perubahan UUD 1945 (1999-2002) sangat berbeda dengan situasi dan kondisi sebelum perubahan UUD 1945. Hal ini disebabkan dalam teks UUD 1945 hasil perubahan tidak secara ekspilit disebutkan mana yang termasuk lembaga tertinggi negara dan lembaga mana yang dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara. Dalam teks perubahan UUD 1945 diijumpai adanya dua pasal yang menyebut secara ekspilit istilah lembaga negara yaitu, Pasal 24c ayat (1) tentang wewenang Mahkamah Konstitusi, antara lain.....” memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dan dalam pasal 11 Aturan Peralihan yang menyatakan “Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut UUD ini.
Selain ketidak jelasan tentang apa yang dimaksud dengan lembaga negara oleh UUD 1945 hasil perubahan, juga terjadi tumpang tindih dan ketidakjelasan kewenangan antara lembaga-lembaga tersebut, sehingga kemudian terjadi kontradiksi dan kompleksitas hubungan antar lembaga negara. Contoh paling aktual dalam kasus ini adalah tentang kewenangan pengawasan yang dimiliki komisi Yudisial. Dalam pasal 14 UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyebutkan Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk menjaga dan mengawasi perilaku hakim. Sedangkan menurut UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung antara lain menyatakan MA berwenang melakukan pengawasan terhadap kecakapan hakim dan perbuatan tercela dari hakim.
Jika dicermati UUD 1945 tidak memberikan kejelasan terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk, Hal ini mengakibatkan UUD 1945 secara tidak jelas menentukan apakah Negara Indonesia menganut negara kesatuan yang didesentralisasi ataukah sebagai Negara Federal, menganut sistem pemerintahan Presidensial ataukah sistem pemerintahan parlementer?
Bentuk federal ini diperkuat pula dengan adanya pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, kemudian dibentuk UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 10 ayat (3) menyatakan : “Urusan  pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.
Kemudian dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 10 ayat (3), bahwa yang dimaksud dengan:
a.       Urusan politik luar negri adalah “mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri dsb”.
b.      Urusan pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara dsb.
c.       Urusan keamanan misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang, kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dsb.
d.      Urusan Yustisi misalnya mendirikan lembaga peradila, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, membentuk UUD, Peraturan Pemerintah, dn peraturan lain yang berskala nasional.
e.       Urusan moneter dan fiskal nasional adalah kebijakan makro ekonomi, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dsb.
f.       Urusan agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional,meberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dsb.

Dalam pasal 6a dan Pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden di pilih langsung oleh rakyat dan menteri diangkat serta diberhentikan oleh Presiden. Apabila konsekuen dengan isi pasal tersebut, maka sudah semestinya UUD 1945 mengikuti pula tolok ukur sistem pemerintahan presidensial antara lain:
a.       Kekuasaan bersifat tunggal baik sebagai kepala Negara maupun kepala pemerintahan.
b.      Kedudukan presiden dan parlemen sama kuatnya dan tidak bisa saling menjatuhakan.
c.       Masa jabatan presiden bersifat pasti, tidak dapat diberhentikan kecuali melanggar konstitusi.
d.      Presisen dan Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi bertanggung jawab terhadap rakyat.
e.       Presiden dipilih rakyat baik langsung maupun tidak langsung dengan suara mayoritas.
f.       Presiden dalam menjalankan tugas dibantu oleh mentri-mentri dan mentri bertanggung jawab kepada presiden.

Dengan dipangkasnya dan dibatasinya kekuasaan presiden tersebut, maka terjadi dominasi Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Presiden, sehingga Presiden tidak memiliki keleluasaan baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Di samping itu Presiden mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan DPR dalam membuat kebijakan dan mengimplementasikannya.
  

Kesimpulan..
            Dari pembahasan tentang Kelembagaan Negara yang diatur dalam UUD 1945 perubahan seperti tersebut diatas, nampak bahwa perubahan UUD 1945 dilaksanakan tanpa melalui kajian yang mendalam. Hal ini dikarenakan suasana kebatinan saat itu ada pada kondisi bergeloranya kesuksesan reformasi, yang ingin mengadakan perubahan terhadap segala sesuatu yang dinilai sebagai atribut Orde Baru. Sebagai akibat dari situasi dan kondisi tersebut diatas, maka dalam perubahan UUD 1945 nampak sangat situasional dan emosional, bahkan pengaturan yang semestinya sebagai materi muatan undang-undang dimasukan ke dalam pasal-pasal UUD 1945.
            Di samping itu ternyata keberhasilan reformasi dalam menumbangkan orde baru, tidak disertai dengan manajemen reformasi, penegakkan hukum dan persiapan yang matang. Oleh karna itu sangat mendesak perlu diadakan penataan serta sinkronisasi dan harmonisasi tentang fungsi tugas pokok dan wewenang masing-masing lembaga negara agar tidak terjadi kontradiksi dan memunculkan kompleksitas hubungan antar lembaga negara. Terlebih fundamental lagi agar pengaturan bentuk negara dan sistem pemerintahan negara Indonesia bener-bener taat asas serta konsekuen dan konsisten dengan nilai historis terbentuknya NKRI serta Pancasila sebagai dasar negara yang telah terpatrikan mantap di dalam pembukaan UUD 1945.



Daftar Pustaka

·         Djadijono M., 2000, Perubahan UUD 1945, Sebuah Catatan Dokumentasi dalam Reformasi Konstitusi beberapa catatan tentang Amandemen UUD 1945, CSIS, Jakarta.
·         Fadjar A. Mukthie, 2006, Lembaga-lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jatim, Surabaya
·         Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum menuju satu sistem Hukum Naional, Alumni, Bandung
·         Wahjono, Padmo, 1983, Indonesia Negara berdasarkan atas Hukum, Ghaia Indonesia, Jakarta
·         Wiratma I made Leo, 2002, Mendung menyelimuti Reformasi konstitusi, April-Juni, 2002 dalam diambang krisi konstitusi, Analisis CSIS, Jakarta.
·         Wiyono Suko, 2006, Supremasi hukum; dalam Berbagai Prespektif, Gaung Persda Press, Jakarta
·         Wiyono Suko, 2006, Otonomi daerah dalam Negara Hukum Indonesia; Pembentukan Peraturan Daerah Partisipataif, Faza Media, Jakarta

Proyek Wisma Atlet untuk SEA GAMES


Lebih dari setengah warga di Indonesia menyoroti kasus skandal dugaan suap Wisma Atlet yang melibatkan para petinggi Partai Demokrat. Hal ini diketahui dari hasil survei dan analisa yang dikeluarkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Survei terbaru LSI pada Februari 2012 menunjukan lebih dari 62,7 persen masyarakat yang memperhatikan kasus ini. Sementara 30,7 persen memilih tak memantau kasus Wisma Atlet. Sisanya 6,6 persen memilih tidak tahu dan tidak menjawab.
            “Efek media pada kasus ini sangat besar dampaknya pada publik, sehingga banyak publik yang ikut mengikuti, sehingga berdampak elektroral terhadap partai Demokrat dan partai lain,” Kata peneliti Senior LSI. “Karena ini adalah yang jadi partai penguasa, yang sebelumnya mempunyai jargon anti korupsisehingga menjadi sorotan. Antusiasme publik sangat besar pada kasus ini.” Tuturnya pula.
            Banyak pengamat dan juga publik yang memprediksi nama Anas Urbaningrum, tidak lama lagi akan menyusul Angelina Sondakh menjadi tersangka dalam kasus wisma atlet. Hal ini disebabkan nama Anas terus disinggung oleh Rosa, Yulianis, dan juga Nazaruddin. Jika Angie mengakuinya, maka Anas akan segera tamat karier politiknya.
            Saat ditanya tentang kasus ini beliau hanya menjawab, “Kalau saya terlibat maka saya tidak berpolitik.” Jika Anas memegang teguh pernyataan ini, maka Anas segera mengakhiri karier politiknya. Angelina Sondakh akan menjadi penentu nasib Anas. Jika Angie membenarkan semua pernyataan Rosa dkk, maka KPK akan segera memutuskan status tersangka Anas.


Sumber :