BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 24 April 2012

Problematika Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945


Salah satu tuntutan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah dibangunnya suatu sistem ketatanegaraan Indonesia yang berbasisi secara murni dan konsekuen pada paham “kedaulatan rakyat” dan “Negara hokum”. Karna itu dalam konteks penguatan sistem hukumyang diharapkan mampu membawa rakyat Indonesia mencapi tujuan bernegara yang di cita-citakan, maka perubahan atau amandemen UUD 1945 merupakan langkah strategis yang harus dilakukan dengan seksama oleh bangsa Indonesia.
            Pasca perubahab UUD 1945, memang masih menimbulkan pro dan kontra tentang pengaturan kelembagaan Negara berikut kewenangannya. Sebab sekalipun dari segi substansinya materi muatan UUD 1945 dinilai sudah mencerminkan paham “Kedaulatan rakyat” tetapi dari segi sistem pemerintahan dan operasionalisasinya justru menimbulakan berbagai persoalan baru, baik menyangkut hubungan Presiden dengan DPR maupun dengan lembaga-lembaga Negara lainnya. Padahal seharusnya konstitusi mampu menciptakan suatu sistem yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan tata hubungan kelembagaan Negara itu dan upaya bangsa Indonesia mencapai tujuan nasionalnya. Namun yang terjadi, justru aroma konflik antar lembaga Negara, penyusunan kabinet dan hubungan pusat denagn daerah yang sampai kini tetap menjadi isu-isu politik yang strategis, bersifat laten dan tidak mudah menyelesaikan secara tuntas.
            Dari perspektif sejarah, sebenernya eksistensi UUD 1945 memang dimaksudkan untuk bersifat sementara, hal ini telah ditegaskan secara implicit di dalam aturan tambahan UUD 1945, yang menyatakan : “(1) Dalm enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Rya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam UUD ini; (2) Dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD.
            Sebenarnya proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945 akan lebih baik apabila melalui berbagai tahapan yaitu:
a.       Perubahan apapun yang akan dilakukan terhadap pasal-pasal UUD 1945 haruslah disertai dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat matang.
b.      Proses penyiapan dan pembahasannya harus dilakukan dalam waktu yang cukup panjang, mendalam, cermat dan teliti.
c.       Sebagai landasan dasar bagi pengelolaan kehidupanbangsa dan Negara Indonesia yang sangat heterogen, maka perubahan UUD 1945 rumusan-rumusannya harus menghindarkan masuknya kepentingan sempit golongan ataupun perorangan yang dapat menimbulkan konflik antar kepentingan dan antar kelompok masyarakat, sebaliknya harus dapat menjamin tetap kokohnya persatuan dan kesatuan dalam kemajemukan.
d.      Perubahan UUD 1945 seharusnya dilakukan oleh suatu komisi yang independen dengan melibatkan Perguruan Tinggi, tokoh keagamaan, kaum professional Oonop dsb yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang akan diputuskan.
e.       Hasil rancangan komisi tersebut diserahkan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk dibahas dalam Badan Pekerja MPR (BPMPR), Sidang Komisi MPR dan Sidang Paripurna MPR untuk diambil putusan.
Selanjutnya, apabila kita telaah substansi UUD 1945 sebelum perubahan baik dalam Batang Tubuh maupun dalam penjelasannya, tidak diketemukan istilah lembaga Negara secara eksplisit. Namun hal ini tidak menimbulkan permasalahan baik secara konseptual maupun dalam praktek ketatanegaraan, karena pada masa itu melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 telah ditetapkan tentang kelembagaan Negara dengan mengelompokkan menjadi dua yaitu MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara meliputi Presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA. Dalam ketetapan MPR tersebut ditetapkan pula bagaiman hubungan diantara Lembaga Tinggi Negara juga dengan Lembaga Tertinggi Negara.
Situasi dan kondisi setelah perubahan UUD 1945 (1999-2002) sangat berbeda dengan situasi dan kondisi sebelum perubahan UUD 1945. Hal ini disebabkan dalam teks UUD 1945 hasil perubahan tidak secara ekspilit disebutkan mana yang termasuk lembaga tertinggi negara dan lembaga mana yang dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara. Dalam teks perubahan UUD 1945 diijumpai adanya dua pasal yang menyebut secara ekspilit istilah lembaga negara yaitu, Pasal 24c ayat (1) tentang wewenang Mahkamah Konstitusi, antara lain.....” memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dan dalam pasal 11 Aturan Peralihan yang menyatakan “Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut UUD ini.
Selain ketidak jelasan tentang apa yang dimaksud dengan lembaga negara oleh UUD 1945 hasil perubahan, juga terjadi tumpang tindih dan ketidakjelasan kewenangan antara lembaga-lembaga tersebut, sehingga kemudian terjadi kontradiksi dan kompleksitas hubungan antar lembaga negara. Contoh paling aktual dalam kasus ini adalah tentang kewenangan pengawasan yang dimiliki komisi Yudisial. Dalam pasal 14 UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyebutkan Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk menjaga dan mengawasi perilaku hakim. Sedangkan menurut UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung antara lain menyatakan MA berwenang melakukan pengawasan terhadap kecakapan hakim dan perbuatan tercela dari hakim.
Jika dicermati UUD 1945 tidak memberikan kejelasan terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk, Hal ini mengakibatkan UUD 1945 secara tidak jelas menentukan apakah Negara Indonesia menganut negara kesatuan yang didesentralisasi ataukah sebagai Negara Federal, menganut sistem pemerintahan Presidensial ataukah sistem pemerintahan parlementer?
Bentuk federal ini diperkuat pula dengan adanya pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, kemudian dibentuk UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 10 ayat (3) menyatakan : “Urusan  pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.
Kemudian dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 10 ayat (3), bahwa yang dimaksud dengan:
a.       Urusan politik luar negri adalah “mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri dsb”.
b.      Urusan pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara dsb.
c.       Urusan keamanan misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang, kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dsb.
d.      Urusan Yustisi misalnya mendirikan lembaga peradila, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, membentuk UUD, Peraturan Pemerintah, dn peraturan lain yang berskala nasional.
e.       Urusan moneter dan fiskal nasional adalah kebijakan makro ekonomi, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dsb.
f.       Urusan agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional,meberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dsb.

Dalam pasal 6a dan Pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden di pilih langsung oleh rakyat dan menteri diangkat serta diberhentikan oleh Presiden. Apabila konsekuen dengan isi pasal tersebut, maka sudah semestinya UUD 1945 mengikuti pula tolok ukur sistem pemerintahan presidensial antara lain:
a.       Kekuasaan bersifat tunggal baik sebagai kepala Negara maupun kepala pemerintahan.
b.      Kedudukan presiden dan parlemen sama kuatnya dan tidak bisa saling menjatuhakan.
c.       Masa jabatan presiden bersifat pasti, tidak dapat diberhentikan kecuali melanggar konstitusi.
d.      Presisen dan Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi bertanggung jawab terhadap rakyat.
e.       Presiden dipilih rakyat baik langsung maupun tidak langsung dengan suara mayoritas.
f.       Presiden dalam menjalankan tugas dibantu oleh mentri-mentri dan mentri bertanggung jawab kepada presiden.

Dengan dipangkasnya dan dibatasinya kekuasaan presiden tersebut, maka terjadi dominasi Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Presiden, sehingga Presiden tidak memiliki keleluasaan baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Di samping itu Presiden mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan DPR dalam membuat kebijakan dan mengimplementasikannya.
  

Kesimpulan..
            Dari pembahasan tentang Kelembagaan Negara yang diatur dalam UUD 1945 perubahan seperti tersebut diatas, nampak bahwa perubahan UUD 1945 dilaksanakan tanpa melalui kajian yang mendalam. Hal ini dikarenakan suasana kebatinan saat itu ada pada kondisi bergeloranya kesuksesan reformasi, yang ingin mengadakan perubahan terhadap segala sesuatu yang dinilai sebagai atribut Orde Baru. Sebagai akibat dari situasi dan kondisi tersebut diatas, maka dalam perubahan UUD 1945 nampak sangat situasional dan emosional, bahkan pengaturan yang semestinya sebagai materi muatan undang-undang dimasukan ke dalam pasal-pasal UUD 1945.
            Di samping itu ternyata keberhasilan reformasi dalam menumbangkan orde baru, tidak disertai dengan manajemen reformasi, penegakkan hukum dan persiapan yang matang. Oleh karna itu sangat mendesak perlu diadakan penataan serta sinkronisasi dan harmonisasi tentang fungsi tugas pokok dan wewenang masing-masing lembaga negara agar tidak terjadi kontradiksi dan memunculkan kompleksitas hubungan antar lembaga negara. Terlebih fundamental lagi agar pengaturan bentuk negara dan sistem pemerintahan negara Indonesia bener-bener taat asas serta konsekuen dan konsisten dengan nilai historis terbentuknya NKRI serta Pancasila sebagai dasar negara yang telah terpatrikan mantap di dalam pembukaan UUD 1945.



Daftar Pustaka

·         Djadijono M., 2000, Perubahan UUD 1945, Sebuah Catatan Dokumentasi dalam Reformasi Konstitusi beberapa catatan tentang Amandemen UUD 1945, CSIS, Jakarta.
·         Fadjar A. Mukthie, 2006, Lembaga-lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jatim, Surabaya
·         Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum menuju satu sistem Hukum Naional, Alumni, Bandung
·         Wahjono, Padmo, 1983, Indonesia Negara berdasarkan atas Hukum, Ghaia Indonesia, Jakarta
·         Wiratma I made Leo, 2002, Mendung menyelimuti Reformasi konstitusi, April-Juni, 2002 dalam diambang krisi konstitusi, Analisis CSIS, Jakarta.
·         Wiyono Suko, 2006, Supremasi hukum; dalam Berbagai Prespektif, Gaung Persda Press, Jakarta
·         Wiyono Suko, 2006, Otonomi daerah dalam Negara Hukum Indonesia; Pembentukan Peraturan Daerah Partisipataif, Faza Media, Jakarta

0 komentar: